Monday, April 23, 2007

Logika bahasa Indonesia di media

Saya bingung. Bingung, apakah bahasa Indonesia saya sudah sedemikian jelek, atau bahasa Indonesia di media Indonesia sudah menurun kualitasnya?

Hari ini di kompas.com saya membaca kalimat berikut:

Mora merupakan salah seorang mahasiswa Indonesia yang menjadi korban dari penembakan yang terjadi di Virginia tech University, Amerika Serikat, Senin (16/4) waktu setempat.
Sepanjang yang saya tahu, hanya ada satu korban dari Indonesia dalam insiden tersebut. Kalimat di atas menurut saya dapat diartikan bahwa ada mahasiswa Indonesia lainnya yang menjadi korban. Lain halnya bila kalimatnya sebagai berikut:
Mora merupakan seorang mahasiswa Indonesia yang menjadi salah satu korban dari penembakan yang terjadi di Virginia tech University, Amerika Serikat, Senin (16/4) waktu setempat.
Atau logika saya yang aneh?

Di Gatra edisi 9 April dalam rubrik kesehatan saya juga menemukan kejanggalan berikut:
Si anak cerdas ini tak bisa duduk diam selama pelajaran berlangsung. Ia sering mondar-mandir dan berputar-putar di dalam kelas tanpa sebab. Ironisnya, ketika ditanya gurunya mengenai materi yang diajarkan, dengan enteng Amanda dapat menjawab dengan benar.
Apakah pemakaian 'ironisnya' di penggalan tersebut tepat? Menurut saya tidak, karena biarpun isinya bertentangan tapi tidak dalam arti yang negatif. Mungkin penggunaan kata 'tapi' lebih tepat dalam kalimat terakhir.

Di website detik.com saya juga menemukan penggunaan kata yang janggal pada tajuknya ketika mereka membahas tentang sindroma Marfan atau dalam bahasa Inggrisnya Marfan syndrome.
Diserang Marfan's Syndrom, Tinggi Badan Ajeng Terus Menjulang
Penggunaan kata 'diserang' tidak tepat, mengingat sindroma ini disebabkan masalah genetik (baik yang karena turunan maupun yang mutasi) yang mempengaruhi kolagen atau jaringan pengikat dalam tubuh. Lain halnya bila membahas mereka yang menderita malaria misalnya, maka penggunaan kata 'diserang' tepat digunakan karena penyebabnya bukan genetik. Selain itu penterjemahan Marfan syndrome ke bahasa Indonesia seperti yang mereka lakukan adalah salah, yang benar adalah Sindroma Marfan.

Saya jadi pesimis, bila dalam satu generasi penggunaan bahasa Indonesia sudah semakin buruk, bagaimana dengan generasi yang lebih banyak menggunakan bahasa asing di sekolah (yang bilingual) nanti?

2 comments:

Pojok Hablay said...

sama! sekarang mau kursus nulis bahasa indonesia yang baik dulu. liat deh, males banget nulis dengan huruf besar di tiap awal kalimat :)

Anonymous said...

iya.. kemaren liat soal ujian master bahasa Indonesia di Leiden, kayaknya ngga susah. jadi mikir ambil kelas disana. :) yg susah tuh kelas bahasa Jawanya kali ye buat gue.