Sunday, October 30, 2005

Coincidence? I think not!

I was picking up a book someone gave me months ago, when it fell open on page 274 and I began reading a random passage:

Graag had ik mezelf altijd voorgehouden dat Lucie voor mij iets abstracts betekende...
I had always like to tell myself that Lucie was something abstract...

I was intrigued and continued reading the whole paragraph as I had an epiphany while reading it. In that poignant paragraph was as if the author, Milan Kundera, was talking about my relationship with the person who gave me the book. Isn’t it ironic? Although our situation was different but I feel the essence was exactly the same as in that single paragraph!
...een legende, een mythe, maar nu besefte ik dat in deze poƫtische termen een volstrekt onpoƫtische waarheid school: dat ik haar niet kende; dat ik haar niet kende zoals ze werkelijk was, zoals ze in wezen was.
... a legend, a myth; yet, now I knew behind the poetry of there words hid an entirely unpoetic truth: that i didnt know her, that i didnt know her as she really was, as she was in and to herself.

Ik had (in mijn jeugdige egocentrisme) bij haar alleen die facetten opgemerkt die rechtstreeks met mij te maken hadden...; ze vertegenwoordigde voor mij niet meer dan een functie van mijn eigen levenssituatie, waarmee ze buiten die concrete levenssituatie viel; alles waarin ze alleen zichzelf was, ontglipte me.
I had been able to perceive (in my youthful egocentricity) only those aspects of her being that were turned directly to me...; she had never been anything to me but a function of my own situation; everything that went beyond that concrete situation; everything that she was in herself had escaped me.


At first I thought: if only I read it earlier, it would probably spare me a lot of headaches. After all I have it for months but I didn't feel like reading it, it seems 'heavy' at the first glance, then again it was in Dutch. I've never really like reading Dutch books, especially when the original language wasn't Dutch. I'd prefer English translation any time, it's easier to digest and I read it quicker than reading Dutch.

Come to think of it, maybe I would not have recognized what it means had I read it earlier. Well I guess there is no such thing as coincidence. I need to read it now, not then. It would have been only a bunch of words back then, without any connection to myself.

After reading that 5th paragraph of the 7th part of 'de Grap' (the Joke), I started reading the book. Turns out, from what I've read so far, it was as interesting as the giver told me.

Monday, October 24, 2005

Di tangga berjalan 2


Sebetulnya kejadian ini sudah beberapa hari lalu. Ngga tau kenapa saya koq mengalami yang ajaib kalau di tangga berjalan. Saya sedang bergegas menuju ke daerah pertokoan, karena harus mampir beli Norit titipan saudara. Ketika sedang naik tangga berjalan untuk keluar stasiun metro, di depan saya berdiri dua ibu-ibu lanjut usia. Tampaknya mereka dua orang teman yang sedang menikmati jalan-jalan mumpung udara sedang lumayan.

Tangga berjalan yang kami naiki itu merupakan tangga berjalan jenis baru yang disetel dua arah. Jadi bila tidak ada yang menggunakan ia berhenti, dan bila ada yang menggunakan baru berjalan menurut arah yang diperlukan, ke atas atau ke bawah. Kadang saya tidak jadi menggunakannya kalau keduluan orang dari arah yg berbeda.

Nah kembali ke cerita saya, selain kami bertiga, masih ada beberapa orang lagi dibelakang saya yang naik disitu. Kira² setengah jalan, saya memperhatikan ada seorang ibu berkulit hitam yang berdiri nempel ke tangga berjalan. Koq orang ini aneh banget, pikir saya, ngapain coba berdiri disitu sementara rombongannya sibuk ngobrol sendiri?

Ketika dua nenek di depan saya yang masih sibuk ngobrol hampir sampai di atas, tiba² tangga berjalan itu berhenti dengan suksesnya. Hampir saja kedua nenek jatuh! Mereka keliatan kaget dan bingung melihat si ibu.

Rupanya, si hitam itu memberhentikan tangga berjalan! Gila, sabar dikit apa susahnya sih?

Saya sih diam saja ngeloyor, soalnya sekarang dia dan rombongannya yang bawa kereta bayi itu malah tidak bisa memakai tangga berjalan. Rasain! Maunya gampang malah jadi susah sendiri :)

Saturday, October 22, 2005

Word of the week 42

I tried searching the meaning of the following word in both Webster and Oxford Dictionaries but I found nothing. Then, like a true google-ist,I googled it. And there it was, with 99200 entries: Queef.

It's a slang for emission of wind from vagina. Some would call it vagina flatulence, but I think, from what I've been reading, it is more like a burp. Apperently it happens mostly during or after intercourse, but it also can happen without any sexual activities. According to one site, the cause of a queef is when fresh air getting pushed/sucked into the vagina and then pushed out again.

Some sites point out that a pelvic muscle exercise can help it from happening to you, ladies. This exercise, also known as Kegel exercise, is not only keeping your pelvic floor muscle strong, it also strengthen your bladder control.

How to do it?

First you need to find the right muscle. The easiest way to do it is to try stopping the flow of your urine. If you can do it, you found the right muscle. Just remember the location of it, because we will need to concentrate on that specific muscle, and that muscle alone.

Then, it's all about squeezing the pelvic muscle for several times. For example, try to squeeze the pelvic muscle and hold it for 3 seconds and then relax for another 3 seconds. You can gradually increasing the repetition, but don't over do it.

Now, all together: squeeze!

Thursday, October 20, 2005

Mari nge-kop tanpa bekas

Dasar apes... suatu kali, semua teman Indonesia saya tidak bisa dihubungi selama beberapa hari. Sementara, saya sudah tepar banget karena masuk angin. Mau kop diri sendiri, bekasnya itu lho ngga nahan, sementara saya masih mau ke dokter. Memang ke dokter disini jarang sampai diperiksa, tapikan kita tidak tau, kalau tau-tau diperiksa dan badan merah² semua bisa panjang lagi diskusinya. Pendeknya, saya malas kop sendiri sampai ada bekas hari itu.

Berhubung kepepet, akhirnya saya minta tolong U untuk nge-kop. Pilihannya tinggal dia, atau mantan teman serumah saya,yg suka hal berbau Asia dan juga tau tentang kop mengkop tapi sedang entah dimana. U pernah liat sih hasil kop itu kayak apa, dan alatnya juga. Tapi tidak pernah betulan nge-kop.

Sesudah U datang, dan masakin saya panekuk kentang Draniki, mulai deh saya bujuk². Awalnya dia maunya mijat saja. Duh, mana sukses dipijat. Lagian orang itu ngga bisa beneran mijat kayak mbok² di Jawa. Akhirnya setelah semua jurus bujuk rayu keluar, mau juga beliaunya nge-kop. Horee!

Gimana caranya nge-kop ngga berbekas kayak ditonjok? Gini... lumuri kulit dengan minyak atau krem agar licin. Kemudian kulit dikop tapi jangan sampai terlalu banyak divakum agar masih bisa bergerak, kalau kebanyakan sakit pas digerakkan. Lalu, mulailah menggeser hasil kop tersebut. Ulangi lagi sampai rasanya enakan. Susahnya, ngga bisa dikerjain sendiri. Saya udah pernah nyoba, yg ada malah otot ketarik!

Dasar U, belum apa-apa sudah ngeri dulu.
+Yakin ini ngga sakit?
-Iya, kalau ngga malah tambah sakit
+Minum obat deh...
-Ngga mempan, udah deh please bentar aja asal ngga mual lagi


Begitu lihat hasil divakum yg warnanya rada ungu itu (kan udah dibilang, saya tepar)
+Oh, I'm going to hell for this
-hehehehehe
...
+if my mom knew...
-diem² aja deh, mau nolongin ngga, dah mulai enakan nih
...
+you are one sick girl
-yes, I am, kalau ngga sakit kan ngga minta dikop hahahahahaha


Menurut dia, dia bisa nulis buku tentang culture shock Indonesia setelah kejadian ini :) Sip dah, Bang!

ps: Want to try cupping? Check this 'Cupping 101' at BBC

Monday, October 17, 2005

Angin oh angin...

Saat nama bulan mengandung huruf 'R', biasanya kemungkinan saya terkena flu makin besar belum lagi yang namanya masuk angin. Apalagi badan saya selembar saja, dan angin di sini segede gajah. Ngga bohong. Saya suka terbawa angin walau tidak separah Mary Poppin.

Sempat saya rajin minta disuntik vaksin flu di dokter keluarga, tapi karena tidak termasuk golongan berisiko saya harus membayar sendiri biaya vaksinnya. Kadang kalau beruntung, prediksi ahli vaksinnya benar, jadi vaksinnya bekerja terhadap jenis virus flu tahun itu. Tapi kadang prediksinya salah juga, jadi biar telah divaksin tetap saja bisa kena flu. Asal tau saja, tiap tahun rupanya virus flu itu berubah² karena mengalami mutasi.

Di sini, orang terkena flu pun tidak diberi obat kecuali sudah ada infeksi bakteri juga. Jadi tidak diberi antibiotik untuk melawan flu. Mengapa demikian? Karena antibiotik TIDAK bekerja melawan virus, sementara flu atau influensa itu disebabkan oleh virus. Bila kita minum antibiotik, apalagi yang broadspectrum, maka bakteri didalam tubuh kita akan tewas. Padahal, tidak semua bakteri dalam tubuh itu tidak baik. Kadang saya bingung kalau di Indonesia masih saja orang yang hanya terkena flu diberi obat antibiotik, apalagi yang broadspectrum oleh dokter. Kalau ditanya ke dokter di tanah air mengapa mereka memberikan antibiotik, jawabannya seringkali karena di Indonesia tidak sebersih di luar jadi ada kemungkinan infeksi. Padahal kan harusnya memberikan antibiotik itu harus penuh pertimbangan, kalau sebentar-bentar dikasih antibiotik tanpa alasan yang jelas, kasian badannya juga karena komposisi flora di ususnya berubah.

Yang sulit kalau sedang masuk angin, yang di sini disebut koud vatten alias common cold. Kalaupun ke dokter, jawabannya hanya 'uitzieken', disuruh istirahat saja. Boro² dikasih obat, kalau dikasih pun hanya paracetamol yang sebetulnya tidak perlu resep.

Biasanya kalau masuk angin ringan saya minum wedang jahe atau yang sebangsanyalah, asal membuat badan hangat. Atau minum yang ada sodanya biar anginnya keluar. Tapi kalau sudah parah, biasanya saya sampai mual-mual. Ini amat sengsara, karena saya tidak bisa muntah. Nah, kalau sudah begitu mau tidak mau saya harus kerokan atau dikop terserah oleh siapa. Namanya juga sudah hampir tewas.

Rupanya, tradisi kerokan dan kop ini tidak hanya dikalangan Cina maupun Indonesia, tapi juga di Vietnam. Intinya sama, mereka percaya bahwa hawa (chi) dingin masuk ke tubuh dan harus dinetralkan dengan menghangatkan tubuh. Caranya selain kerokan dengan koin dan minyak hangat, bisa juga dengan dikop, dan ada beberapa cara lain.

Di kalangan medis Barat pun kebiasaan Asia ini mulai dikenal perlahan-lahan. Jangan heran, kalau setelah kerokan ke rumah sakit, tiba-tiba banyak yg merubung melihat bekas kerokan. Bisa juga terjadi orang tua dikira menyiksa anaknya sampai merah² dan dipanggilkan dinas sosial oleh perawat atau dokter yang tidak tau kebiasaan ini!

Kalau dipikir, menurut saya mendingan dikop, selain lebih tidak sakit dikulit, kemungkinan kulit luka juga lebih kecil dibandingkan dengan kerokan. Belum lagi kalau kerokan dengan coin yang tidak bersih, bisa kena infeksi. Saya sih sebetulnya selain punya alat kop juga punya alat untuk kerokan dari besi yang beli di Jogja yang pinggirnya tidak tajam. Walau demikian, bila alat itu dipakai untuk mengerok orang lain dan terluka, bisa saja saya tertular hepatitis misalnya. Kan ngga lucu, niatnya sembuh dari masuk angin malah kena hepatitis.

Bagaimana dengan jamu yang banyak iklannya itu? Sampai sekarang saya tidak pernah mencoba minum jamu²an untuk melawan masuk angin, karena isinya apa menurut saya tidak jelas. Lagipula, sekali-kalinya saya minum jamu supaya bisa gemuk ternyata setelah di cek di laboratorium FKUI, isinya ada testoteronnya. Ngga lagi² deh!

Wednesday, October 12, 2005

Sepeda dan Pria

Di Belanda jumlah sepeda yang ada jauh lebih banyak daripada jumlah penduduknya yang sekitar 16 juta itu. Mereka menggunakan sepeda tidak hanya untuk angkutan sehari² ke kantor, ke sekolah, maupun belanja, tapi juga sebagai bagian dari rekreasinya. Cukup banyak Belanda yang melakukan perjalanan panjang ratusan kilometer dalam satu akhir minggu.

Jangan dikira yang menggunakan sepeda hanya yang muda² maupun merasa muda, nenek² maupun kakek² diatas usia 65 tahun pun masih banyak yang bersepeda.

Beberapa tahun terakhir ini, mulai banyak penelitian mengenai efek bersepeda (terutama pada pria). Memang disatu sisi bersepeda merupakan olah raga, yang tentunya baik untuk tubuh kita. Tapi ternyata bukan berarti tidak ada efek negatifnya.

Rupanya bentuk sadel sepeda bisa menimbulkan masalah di kamar tidur.

Baik sadel tradisional maupun yang ergonomis ternyata mengurangi laju darah ke arah alat kelamin pria. Rupanya bentuk sadel yang ber-'hidung' mancung itu tidak ramah terhadap daerah perineum, daerah antara alat kelamin dan anus. Di bagian dalam daerah ini terdapat pembuluh darah yang menuju kearah alat kelamin dan dapat terjepit bila kita duduk di atas sadel sepeda, terlebih bila berat badan kita berlebih. Menurut Dr. Schrader dari National Institute for Occupational Safety and Health, tekanan yg dialami oleh daerah perineum saat kita duduk diatas sadel bisa 7 kali lebih tinggi dari normal.

Salah satu tanda adanya masalah dengan aliran darah di daerah perineum adalah bila kita merasa baal/kesemutan (numb) setelah bersepeda. Rasa itu merupakan upaya badan kita memberi tahu adanya ketidak beresan ditubuh.

Memang tidak semua pengguna sepeda mengalami masalah libido atau keperkasaan. Sama seperti tidak semua perokok menderita kanker paru-paru. Tapi menurut perkiraan paling tidak ada 5% pengguna sepeda yang intensif mengalami masalah. Bisa jadi jumlahnya lebih tinggi karena kaum adam biasanya malu untuk membahas hal ini, selain mereka mungkin tidak menghubungkan kesenangannya bersepeda dengan masalah di kamar tidur ini.

Sebagai jalan keluar, para ahli reproduksi yang meneliti masalah ini merekomendasikan penggunaan sadel tanpa hidung yang jauh lebih ramah terhadap daerah perineum.

Mungkin, ada benarnya komentar teman saya belum lama ini yang memilih tidak bersepeda. Katanya, 'Bisa jadi pria Belanda tidak bisa flirting karena kebanyakan naik sepeda.' :)

Tuesday, October 11, 2005

Wanita dijajah pria sejak dulu

diciptakan alam pria dan wanita
dua makhluk dalam asuhan dewata
ditakdirkan bahwa pria berkuasa
adapun wanita lemah lembut manja

wanita dijajah pria sejak dulu
dijadikan perhiasan sangkar madu
namun ada kala pria tak berdaya
tekuk lutut di kerling wanita

Sabda Alam - Ismail Marzuki


Di The Jakarta Post tanggal 10 Oktober termuat artikel tentang rencana Pengadilan Agung untuk memberikan syarat bagi pria asing untuk menaruh deposito sebesar 500 juta rupiah sebelum mengawini perempuan Indonesia.

Entah siapa yang mempunyai ide jenius ini, tapi menurut harian tersebut mereka mengacu pada peraturan sejenis di Mesir. Rupanya di negara yang paternalistik seperti Indonesia memerah perempuan yang bekerja (TKW) saja tidak cukup, sehingga niat baik seorang wanita untuk melangsungkan perkawinan pun kalau bisa dijadikan sumber pendapatan negara.

Bila usulan ini di terima untuk dijadikan perundangan oleh DPR, maka posisi perempuan Indonesia, terutama yang berkaitan dengan perkawinan transnasional, semakin terpuruk.

Setelah bertemu jodoh, yang bagi sebagian orang hal ini tidak mudah, untuk sampai melakukan perkawinan resmi antar bangsa di Indonesia tidak lah mudah. Birokrasi yang harus dilalui cukup panjang.

Masalah pasangan beda bangsa ini pun tidak hanya terbatas pada perbedaan budaya, atau bahasa, terutama bila pengantin putrinya orang Indonesia.

Bila pasangan tersebut ingin menetap di Indonesia, sang istri yang berwarga negara Indonesia tidak bisa menjadi sponsor bagi suami dan anak mereka yang warga negara asing. Pria asing hanya dapat menetap di Indonesia bila memiliki visa berkerja atau bisnis. Tidak demikian halnya bila pria Indonesia menikah dengan wanita asing, ia dapat menjadi sponsor istrinya.

Keturunan pasangan ini otomatis mengikuti kewarganegaraan si ayah dan tidak diperkenankan mempunyai kewarganegaraan ganda. Jadi bila terjadi perceraian atau kematian, maka si ibu tidak otomatis mempunyai hak asuh bagi anaknya yang kewarganegaraannya berbeda tersebut. Belum lagi kendala pengurusan ijin tinggal yang tidak mudah, serta tidak murah itu.

Bila warganegara Indonesia meninggal, maka pasangan dan anaknya yang berwarganegara asing tersebut akan kehilangan hak waris mereka. Pemerintah Indonesia akan menyita kekayaan mereka dan melakukan lelang dalam satu tahun setelah kematian tersebut.

Hal tersebut diatas terjadi karena berlakunya beberapa Undang².Dalam undang² nomor 9/1988 tentang keimigrasian Indonesia dan dalam undang² nomor 62/1958 tentang Kewargakenegaraan posisi wanita Indonesia tidak sama dengan pria. Kedua undang² tersebut diskriminatif terhadap wanita selain bertentangan dengan UUD 1945, undang² nomor 7/1984 serta Deklarasi PBB tentang Hak Azazi manusia.

Bila anda yang beruntung tidak terlibat hubungan transnasional, bukan berarti tidak ada masalah.

Undang² nomor 1/1974 tentang perkawinan juga masih diskriminatif dan tidak sesuai dengan jaman. Masih terdapat ketimpangan hukum yang tidak melindungi wanita Indonesia, ambil contoh tentang masalah poligami, perceraian dan konsekuensi hukumnya, serta hak dan kewajiban pasangan dalam rumah tangga. Belum lagi masalah status hukum anak di luar perkawinan dan seperti dikemukakan diatas, anak hasil perkawinan transnasional.

Sebetulnya bulan Mei lalu telah ada usaha dari LSM² seperti Kowani, Aliansi Pelangi Antar-Bangsa yang mengajukan usulan untuk melakukan amandemen terhadap ketiga perundangan tersebut sehingga hak wanita menjadi setara dengan pria.

Semoga saja masukan mereka memperoleh porsi lebih dibanding usulan tentang pembayaran deposito seperti yang dikabarkan oleh the Jakarta Post. Sudah waktunya 50% dari manusia Indonesia ini memperoleh hak yang setara dengan pria. Buat apa hari Kartini dan hari Ibu diperingati setiap tahun, bila tidak ada kemajuan dibanding pada masa Beliau hidup.


ps: Ternyatanya nasib wanita (dan pria)Turkmenistan sempat mengalami nasib seperti yang dicita²kan oleh pengusul undang² itu. Artikel itu menarik untuk melihat efek praktis peraturan yang absurd seperti usulan tersebut. Posisi wanita (dan pria) justru semakin buruk. Selain itu saya koq merasa negara menjadi semacam mucikari ya?

Show me the way...

On entering a country,
ask what is forbidden;
on entering a village,
ask what are the customs;
on entering a private house,
ask what should not be
mentioned.

— Chinese Proverb



We were at the Eye Hospital in a hurry for my consultation when it happened. I saw this interesting art work at the wall in front of consultation room 1. On the first glance it seemed like an ordinary curled brass hanging on the wall; however the shadow cast on the wall was a transcription of a saying in Dutch. Very clever and very appropriate for an eye hospital. I wanted U to see it. So I pointed out using my right forefinger and said, 'Look! That’s interesting'

In stead of looking the direction I was pointing, he started protesting about me pointing to that art object with my finger. Confused and still in a hurry, I pursued to take the stairs to the first floor, with him tailing not far behind, heading toward consultation room 17 as I was told earlier. Meanwhile the conversation continued:

+Don't point
-Huh? What do you mean? I want you to see it. Did you see it?
+Didn't they tell you not to point when you are a kid?
-What's wrong with pointing? Besides, I was only pointing at an object not at a person.
+You are a nice girl from a nice family, how come you point at things?
-Oh, it must be another culture gap

Turns out, in Russian culture, one should not point at things with one finger. It is impolite. In retrospect, I’ve never seen U pointing anything at all. If he wanted to show me something he would’ve told me where to see. If I still couldn’t see what he wanted me to see, he would have turned my body or my head toward the direction, which I found rather quirky. ;)

Well I don’t know about you, but I could only remember being told to use my thumb to point at things when I am in or around elderly people from (Central) Java and that I must not point at people using my finger.

As I've been living in this Lowland for years, I think I can safely say that the Dutch never have any problem with pointing things with their finger(s).

Later on I explained to U about this finger pointing thing, and he was amazed that Javanese use thumb to show direction. He found it rather impractical. Go figure :)

Can anyone enlighten me with other cultures' take on pointing for direction?

Monday, October 10, 2005

Siapa sih Belanda itu?

Berhubung ditanya sepupu tentang stereotipikal Belanda saya jadi ingat pembicaraan dengan U beberapa bulan lalu tentang stereotipikal suatu negara. U cerita bagaimana orang Belarusia memandang bangsa lain disekitarnya. Ketika dia bertanya tentang pandangan orang Indonesia tentang negara sekitarnya saya jadi diam. Sepanjang ingatan saya, kita koq ngga punya stereotipik tentang negara tetangga ya? Seperti Loucee tulis di sitenya, paling banter kita punya stereotipik tentang orang India atau Cina. Kalau stereotipik antar suku di Indonesia sih jelas ada. Walau kadang saya mikir lagi, itu stereotipik (negatif) atau pemikiran rasial ya?

Apa kita tidak mempunyai stereotipik tentang negara tetangga karena pada dasarnya bangsa kita jarang keluyuran/berhubungan dengan negara tetangga? Abis Indonesia besar sih, kalau tinggal di Jawa mau ke Malaysia kan jauh, lebih gampang ke Bali atau Madura. Beda dengan negara² Eropa yang dekat satu dengan yang lain, apalagi bila tinggal di Benelux yang kalau meleng sedikit bisa sudah sampai ke negara tetangga.

Kembali ke pertanyaan sang sepupu. Kalau dibilang Belanda pelit, di mata orang Eropa setau saya orang Skotlandia atau orang Yahudi lebih pelit. Tapi memang orang Belanda itu itungan sekali. Sampai satu sen pun bisa dituntut. Dalam bahasa Belanda dikenal: elk dubbeltje tweemaal omkeren (terjemahan letterlijknya: setiap 10 cent diputar dua kali) yang artinya amat hemat. Jujur saja, kadang ada enaknya sih, semua jelas kalau pergi dengan teman. Makan bareng, ya kita bayar sendiri² apa yang kita pesan. Jadi kalau dia pesan lebih mahal ya urusan dia, rekening tidak dibagi separuh-separuh. Menurut cerita kebiasaan hemat dan cermat ini karena mereka biasa hidup susah, tidak seperti di Indonesia di mana bila kita melempar biji duren di halaman juga bisa tumbuh jadi pohon duren.

Orang Belanda cenderung tidak kenal basa-basi. Kadang saya jauh lebih suka berbicara dengan orang Belanda daripada dengan orang Jawa yang penuh basa-basi. Paling tidak saya tidak perlu susah² mengira-ngira maunya mereka apa. Mereka juga cenderung bicara seadanya, yang kalau tidak biasa mendengarnya bisa sakit juga sih. Ingat saja bagaimana mentri Belanda Pronk memberikan komentar tentang korupsi di Indonesia yang membuat pemerintah Indonesia marah.

Mungkin tidak jauh dari urusan komunikasi, (pria) Belanda tidak bisa flirting. Cerita panjang lebarnya bisa dibaca sendiri di tulisan saya sebelum ini.

Yang menarik bagi saya adalah selera Belanda. Di satu sisi Belanda terkenal dengan para pelukisnya, siapa sih yang tidak kenal Van Gogh, Rembrandt, Vermeer serta de Kooning. Arsitek Rem Koolhaas juga ngetop dengan designnya. Saat ini pun design Belanda termasuk sedang ngetop di dunia. Tapi kalau melihat cara orang Belanda berpakaian tuh sering kali ampun deh. Jeans warna oranye, atau merah dipakai kaum adam termasuk hal yang normal di negara ini. Kebiasaan wanita Belanda memakai baju bertumpuk² dengan warna atau corak yang tabrakan juga amat normal. Rambut yang berantakan boleh dibilang bagian dari 'Belanda'. Jangan kira hal itu hanya dilakukan selama kegiatan sehari-hari. Pergi ke perkawinan, ke opera, maupun acar resmi pun sering kali kostumnya tidak beda jauh. Enaknya, kita tidak dituntut selalu bergaya walau akhirnya bisa merusak 'selera' kita sendiri kalau keseringan ikut 'gaya' mereka.

Sebelum sampai di Belanda, saya diwanti² bahwa orang Belanda itu amat pembersih. Beda sekali dengan saya yang selebor. Ternyata, sesampainya di sini dan bergaul dengan Belanda yang masih seumuran, mereka juga tidak bersih² amat, malah banyak yang jorok! Menurut observasi saya, biasanya ketika masih sekolah, mereka itu (lumayan) jorok, dan tidak rapi. Ok, ini generalisasi, tapi biasanya memang demikian, apalagi mereka² yang ikut dalam organisasi mahasiswa yg disini disebut vereniging. Nantinya, bila mereka sudah bekerja atau berumah tangga (baik kawin maupun hidup bersama) mereka mulai peningkatan, lebih rapih dan bersih. Setelah mereka tua, mereka jadi amat pembersih dan rapih.

Belanda juga terkenal toleran, paling tidak mereka sendiri merasa sebagai bangsa yang toleran. Tapi menurut saya toleransinya setengah hati. Selama kita tidak mengganggu mereka, maka mereka seakan-akan mentolerir kita. Ini amat terasa akhir² ini terutama sejak pembunuhan terhadap Theo van Gogh. Sebagai bangsa yang berani tampil beda dengan melegalisasi banyak hal yang boleh dibilang masih tabu di negara lain (narkoba, prostitusi, hubungan homoseksualitas, eutanasia, serta aborsi), memang tampaknya mereka toleran dan liberal. Tapi kalau dilihat lagi, keputusan mereka itu selalu ada keuntungannya. Ambil contoh legalisasi prostitusi. Sebelum dilegalkan, adanya prostitusi di'maklumi' jadi tidak legal, tapi juga tidak 100% illegal. Ternyata dengan posisi seperti itu banyak masalah timbul, terutama masalah perdagangan wanita dan pendatang ilegal. Jadi dengan dilegalkan dan terlokalisasi masalah itu berkurang, selain ada keuntungan pajak pemasukan (income tax) serta penyebaran penyakit kelamin menular dapat terkontrol.

Itu semua stereotipik Belanda dimata saya. Mungkin orang lain melihat Belanda berbeda karena latar belakangnya dan pengalamannya dengan orang Belanda berbeda dengan saya. Seperti orang Inggris melihat Belanda sebagai bangsa yang tidak punya emosi, pelit, dan mudah naik darah. Bisa jadi ini berawal dari masa perseteruan mereka mencari jajahan di abad ke 17. Efeknya masih bisa kita lihat sampai saat ini di istilah bahasa Inggris yang menggunakan kata 'dutch' seperti dutch courage, dutch metal, dutch uncle, going dutch, semuanya artinya cenderung negatif.

Untuk masukan lain tentang stereotipik Belanda mungkin bisa dilihat di koran NRC, maupun di site expatica dan zompist.

Wednesday, October 05, 2005

Word of the week 40

In Spanish the word 'esposa' means 'wife', while the (plural) word 'esposas' means 'handcuffs'. So, mi esposa, mis esposas = my wife, my handcuffs. What a chauvinist language ;)

Monday, October 03, 2005

Chimpanse aja bisa berhenti merokok!


Chimpanse yang bernama Ai Ai akhirnya berhenti juga merokok. Ai Ai memulai kebiasaan buruknya setelah diberi rokok oleh salah seorang penjaga kebun binatang di propinsi Shaanxi, China. Awalnya chimpanse ini menderita depresi setelah ditinggal mati pasangannya tahun 1989. Baru setelah ditinggal mati oleh pasangan berikutnya dan anaknya dipindah ke kebun binatang lain ia menjadi perokok berat.

Nah, kalau Chimpanse aja bisa berhenti merokok, masa orang yang punya otak sulit berhenti?