Tulipomania - world first bubble?
Aslinya Tulip merupakan bunga liar dari kawasan Asia Tengah. Setelah Turki menguasai daerah inilah mulai bunga Tulip dibudidayakan sejak sekitar tahun 1000, bahkan menjadi bunga utama pada jaman kesultanan Ottoman. Tulip juga memiliki arti religius, hal ini karena nama setempat Tulip, Lâle, bila ditulis dengan aksara Arab, menyerupai tulisan Allah. Karenanya sampai sekarang kita temui lukisan Tulip baik yang abstrak maupun tidak dalam ornamen keagamaan, misalnya di mesjid.
Bunga ini pertama kali dibawa masuk ke Belanda sekitar tahun 1590-an oleh Carolus Clusius, Biologis dari Wina yang menjadi direktur Hortus Botanicus di Leiden. Ia memperoleh Tulip dari Augier Ghislain de Busbecq, temannya yang menjabat sebagai duta Austria di Constantinopel. Sejak itu mulailah orang berlomba-lomba memiliki Tulip, yang namanya diambil dari bahasa Turki untuk Tulban karena bentuknya menyerupai Tulban.
Sesuai dengan hukum ekonomi, dimana banyak permintaan tanpa diikuti pasokan yang cukup, harga akan naik. Begitu pula dengan Tulip, harganya pun naik. Pada masa itu, hanya mereka yang cukup kaya yang dapat menikmati Tulip. Tulip menjelma menjadi salah satu simbol status. Terlebih setelah tumbuh jenis Tulip langka yang kini diketahui akibat terkena virus mozaik. Virus ini menyebabkan timbul patron seperti lidah api di petalnya. Patron ini amat beragam dan tidak dapat diprediksi sehingga orang berburu mendapatkan jenis Tulip langka seperti Viseroij, Wit en Rood Boode, serta tentunya yang termahal Semper Augustus yang pada tahun 1636 hanya terdapat dua buah bibit di seluruh Belanda.
Harga Tulip ditentukan dengan jumlah pasokan bibit serta berat per bibit. Selain itu tentu saja kelangkaannya. Seperti telah diutarakan semula, corak akibat virus mozaik tidak dapat diprediksi, jadi kemungkinan memiliki Tulip dengan corak yang sama hanya diperoleh dengan membudidayakannya dari bibit awal. Besar bibit tersebut menentukan berapa banyak 'keturunan' yang dapat diperoleh. Hasil budi daya ini baru dapat berbunga setelah kira² 3 tahun.
Kelangkaan Tulip inilah yang membuat banyak orang berspekulasi. Karena bibit bunga Tulip hanya berada diatas tanah antara Juli dan November dalam setahun, sementara sisanya hampir selalu berada dalam tanah, maka mereka melakukan transaksi tanpa bukti kepemilikan yang dikenal sebagai windhandel yg berarti perdagangan angin di Pub². Ini merupakan cikal bakal Future Market yang kemudian menjadi Bursa di Amsterdam, Rotterdam, Haarlem serta di beberapa kota lagi. Sebetulnya Windhandel dilarang sejak tahun 1610, tetapi otoritas tidak memberikan sanksi bagi pelaku, hanya kontraknya dianggap tidak sah. Oleh karenanya pada masa itu pelaku pasar ini biasanya bukan trader serius, tapi lebih rakyat biasa yang ingin cepat kaya.
Pada masa itu, pendapatan rata² per tahun di Belanda sekitar 150 gulden. Sementara itu harga satu bibit Semper Augustus di tahun 1623 1000 gulden,dan terus naik sampai puncaknya pada Februari 1637 terjual seharga 6700 gulden (setara dengan $50.000 tahun 1990), kira² seharga herenhuis, rumah ditepi kanal, beserta halamannya di Amsterdam!
Sudah barang tentu harga yang amat tinggi ini tidak mencerminkan realitas. Sebagian orang mulai secepatnya menjual Tulip miliknya untuk meraih keuntungan sebesar-besarnya. Keadaan ini menyulut kepanikan massa. Orang berlomba-lomba memindah tangankan kontrak kepemilikan bunga ini dan harga Tulip pun jatuh hingga hampir senilai dengan bawang bombay biasa di tahun 1637. Tulipomania pun berakhir, gelembung itu pecahlah sudah.
Akibat kehancuran ini, warga Belanda sempat kemudian menjadi amat konservatif dalam melakukan investasi.