Sunday, May 22, 2005

Quote

hoe meer je vertelt,
hoe meer afstand je kunt nemen,
maar de pijn zwakt niet af,
alles blijft

-Ellen van der Ploeg

Tuesday, May 17, 2005

Terschelling

Pelampung di pelabuhan

Setelah keliling melihat-lihat beberapa kota di Friesland 2 minggu lalu, akhir minggu lalu saya ke pulau Terschelling di lepas pantai Friesland. Untuk mencapainya, dapat digunakan Ferry dengan perjalanan selama 2 jam, atau dengan jetfoil selama 45 menit, keduanya berangkat dari kota kecil Harlingen.

Kami berangkat dari Rotterdam Sabtu siang, niatnya menggunakan kereta jam 13.15 dari Rotterdam Alexander. Tapi akhirnya batal karena ternyata metronya telat. Jam 13.15 saya baru sampai di stasiun Alexander dan masih harus beli tiket. Awal yg buruk! Cepat² saya beli tiket bolak balik akhir minggu ke Harlingen haven, seharga €23.40 setelah dikorting sebanyak 40% karena saya punya kartu korting.

Karena masih harus menunggu setengah jam untuk kereta berikutnya, kami ke pertokoan dulu, membeli minuman untuk di jalan, es krim, dan oleh². Begitu sampai di peron, kami bertemu teman anak Brazil yang baru kena cacar air, ia akan pergi ke Gouda. Sayangnya kereta yang kami tumpangi tidak berhenti di Gouda, jadi kami berpisah disana. Ketika kami berusaha mencari tempat duduk di kereta yang lumayan penuh ini, kami sempat bertemu 3 teman Indonesia yang akan ke Nijmegen. Setelah mencoba beberapa gerbong, akhirnya kami dapat juga tempat duduk yang enak. Bisa jadi hari ini penuh karena selain akhir minggu ini menurut ramalan cuaca udaranya akan baik, akhir minggu ini juga merupakan long weekend sampai hari Senin.

Kereta kami yang kami tumpangi adalah kereta Intercity menuju Leeuwarden, jadi hanya berhenti di kota² besar saja. Pemberhentian pertama Utrecht, dimana kereta kemudian disambung dengan gerbong yang nantinya akan menuju Groningen. Setelah selesai disambung, kereta kami berbalik arah. Untungnya tempat duduk di depan kami kosong, jadi kami bisa pindah sehingga tidak perlu duduk menghadap kebelakang. Di ladang² sepanjang perjalanan, banyak sapi, kuda dan juga domba yang sedang merumput. Karena musim semi, banyak sekali anak domba yang baru lahir, lucu sekali.

Kami sampai di Leeuwarden jam 16.15, dan memiliki waktu sekitar 15 menit sebelum kereta berikutnya ke Harlingen haven (pelabuhan) berangkat. Stasiun Leeuwarden tampaknya cukup tua, dekornya Art Nouveau. Di tengah² terdapat beberapa kios terbuat dari kayu, yang tidak pernah saya lihat di stasiun lain sebelumnya. Karena lapar, kami sempat membeli makanan di salah satu kios disana untuk kemudian dimakan di kereta.

Sesampainya di Harlingen haven, kami segera membeli tiket jet foil seharga €19, plus tuslah jetfoil €3.90 sekali jalan serta pajak turis €3.90 yang berlaku untuk 4 hari. Tadinya kami mau minum² dulu di cafe Neptunus di dermaga. Tapi, setelah lama menunggu pesanan kami tidak datang², sementara jet foil kami telah datang, jadi batal rencana itu. Perjalan yang lamanya 45 menit itu tidak terasa goyangan yang berarti dari Waddenzee, Laut Wadden. Kadang kala kami melihat ferry dan kapal pengangkut kontainer, serta kapal kecil.

Sesampainya di Terschelling, kami telah ditunggu oleh Galine dan Luba, dua ibu² dari Belarus yang sedang menemani anak² Belarusia berlibur di Terschelling selama sebulan. Kami dibawa ke rumah keluarga tempat kami akan menginap malam itu, dan berkenalan dengan Sjoert yang mengajar di sekolah Maritim, istrinya Rinske yang guru SD setempat serta anak mereka Maike. Setelah berkenalan dan menaruh barang, kami pergi mengambil sepeda di rumah salah satu host di kota West-Terschelling untuk kemudian ke daerah Camping tempat Galine dan Luba tinggal selama di pulau ini. Sebelum berangkat kami dipesani bahwa pintu belakang selalu terbuka, jadi kami bisa pulang kapan saja kami mau. Bayangkan jaman ini masih ada tempat tanpa kunci!

Begitu sampai di tempat camping El Dorado, 4 caravan yang paling depan namanya: Padang, Bogor, Jawa, Sumatra. Kemudian nama caravannya berubah menjadi nama² bunga sebelum kembali menggunakan nama2 berbau Indonesia. Kedua ibu ini sendiri tinggal di caravan bernama Madura. Malam itu kami menikmati makan malam ala Belarus yang terdiri dari meatballs dengan telur mata sapi (yang menurut saya agak terlalu asin, tapi saya masih sempat ditanya apa akurang asin?!), kemudian kentang rebus, sayur yg terdiri dari daun selada, tomat dan timun dan tak lupa: Roti coklat. Rupanya, kebiasaan mereka biarpun ada kentang, tetap makan dengan roti biar hanya selembar! Ternyata diet Atkins belum sampai ke Belarus;). Sambil belajar sedikit² bahasa Rusia, saya memperoleh informasi bahwa sampai kini di daerah Belarusia selatan yang terkena efek Chernobyl banyak ditemui anak² yang sakit tiroidnya, juga saluran pernafasannya serta terkena kanker. Di bagian Belarusia yang tadinya terkontaminasi awan radioaktif, katanya kini mulai orang bercocok tanam, mereka sendiri tidak tau apakah lahan itu masih radioaktif atau tidak.

Atas inisiatif beberapa orang di Terschelling, sejak tahun 1996 mereka mengumpulkan uang untuk mengundang anak² Belarusia yang sakit dari daerah yg terkena kontaminasi untuk berlibur di pulau ini selama sebulan setiap dua tahun sekali. Selama itu mereka tinggal di rumah keluarga Belanda dan melakukan segala rupa kegiatan setiap hari. Tahun ini ini giliran 22 anak yang beruntung, 11 lelaki dan 11 perempuan yang kebagian jatah berlibur. Setiap dua kali seminggu mereka belajar berenang, belajar inline skating, jalan², membuat kerajinan tangan, serta melakukan piknik bersama.

Setelah makan malam, kami hiking di daerah belakang camping ini. Kami naik ke atas bukit pasir ditepi laut, pemandangannya cukup indah. Vegetasi di pulau ini sedikit berbeda dibanding di daratan. Mungkin karena terbawa burung² yang mampir untuk bersarang di daerah ini. Selama kami disana, ada sekelompok anak remaja sedang bermain semacam perang²an. Lucu juga, setiap lewat di dekat kami mereka dengan sopan menyapa, untuk kemudian segera tiarap dan merangkak-rangkak karena 'musuh' sedang patroli.

Kami kemudian memutuskan untuk mampir di Restaurant Isola Bella untuk minum wine. Begitu masuk, tinggal satu pasangan yang sedang makan disana, tapi kami tidak melihat yang bekerja, hanya terdengar suara orang sedang bergurau dibelakang. Setelah menunggu beberapa lama akhirnya kami berusaha memanggil² pelayan. Muncul seorang gadis, yang mengatakan mereka akan tutup segera setelah pasangan yg sedang makan itu pulang. Tapi ketika tau kami hanya ingin minum kami diperkenankan tinggal. Tak lama pasangan itu pulang, dan kami masih menikmati minuman kami. Lucunya ketika kami mau membayar, gadis itu memutuskan untuk meng-gratis-kan pesanan kami! Kami lumayan kaget juga. Ini di Belanda yang mau kencing saja biasanya bayar, koq orang minum wine bisa gratis?! Setelah berterima kasih, kami pulang ke rumah host, dengan senyum mengembang. Ternyata walaupun katanya there's no free lunch, di Terschelling ada free drinks!

Esoknya, kami bangun pagi² dan segera pergi menjelajahi daerah West Terschelling. Pertama² kami berjalan ke arah Pelabuhan, dengan harapan bisa mencari makan, tapi semua ternyata masih tutup karena masih jam 8 pagi dan hari itu hari Minggu Pantekosta. Kami kemudian berjalan ke pusat kota, sambil melewati gereja Reformed, dan museum² kecil yang juga tutup. Di depan Mercusuar yang jadi lambang Terschelling, kami menemui hotel yang buka, dan kami bisa memesan minuman hangat disana.

Kemudian kami mampir di mercusuar yang usianya sudah ratusan tahun itu. Menurut plang disana, keberadaan mercusuar ini dapat ditelusuri sampai ke abad 14. Mercusuar yg saat ini masih berfungsi dengan baik ini sendiri sudah berdiri sejak abad 19.

moo...

Kami kemudian hiking ke daerah duinen (bukit pasir didekat pantai) dan mengamati burung² yang sedang membuat sarang disana, serta segerombolan sapi yg dipimpin seekor kuda liar yang sedang merumput. Karena kami akan ikut acara piknik Visdag (hari ikan) dengan anak² Belarusia, kami tidak jadi kepantai, tapi bergegas pulang ke rumah.

Sampai dirumah, kami berkenalan dengan sukarelawan² lain yang sedang membuat salade untuk acara piknik. Setelah berbenah, kami berangkat ke area reservasi di ujung Timur pulau dengan dua mobil; sementara Sjoert, Host kami berangkat sendiri dengan kapalnya. Perjalanan ke tempat piknik ini sekitar hampir setengah jam, melewati 5 desa. Di jalan kami diberitahu bahwa setiap weekend Pantekosta, Terschelling selalu didatangi oelh kawanan bermotor. Mereka berjalan jalan dari ujung ke ujung pulau yg panjangnya 30Km ini, sambil mampir di cafe sepanjang minggu. Kami menggunakan mobil sampai ujung jalan (jalannya benar² berhenti, tidak ada aspal lagi setelah itu), kemudian mobil harus diparkir di pelataran parkir disana. Kemudian kami harus jalan kaki selama 15 menit.

Sesampainya ditempat piknik, sudah banyak keluarga² yang ada. Anak² dua bangsa bersenda gurau dan bermain bersama. Sebagian orang sudah mulai makan ikan. Yang disediakan adalah ikan Schaar, bentuknya pipih seperti School tapi lebih bulat, dagingnya putih. Ikan itu mereka goreng begitu saja. Entah berapa banyak ikan yang mereka goreng hari itu, saya sendiri makan 3. Ketika kami pulang saja masih
cukup banyak ikan yang ada. Bahkan Galine dan Luba membawa satu piring untuk makan malam.

Setelah mencoba ikan, dan ngobrol² dengan Galine serta anak² Belarusia tentang pengalaman mereka (salah satunya mengatakan: belajar berenang dan inline skating itu cool!), kami berjalan-jalan di daerah reservasi. Di jalan kami dilewati karavan berisi turis² yang ditarik oleh 3 kuda yang besar. Mereka juga menuju ke pantai di daerah reservasi. Kami kemudian sempat 'bercengkrama' dengan sepasang kuda sampai jaket saya basah karena salah satu kuda sibuk mengendus mencari makanan di kantong jaket saya yang isinya hanya sarung tangan.

Kudaku lari gagah berani!

Di dekat pantai, ada bagian yang tertutup bagi umum, karena diperuntukkan bagi burung² bersarang. Ketika kami akan berbalik, kami melihat segerombolan kuda liar berlari, graceful. Dari jauh, kami melihat sebuah kapal di dekat area Piknik. Saya tebak itu pasti Sjoert, karena katanya dibutuhkan 2 jam dari west-Terschelling ke tempat piknik dengan kapal. Dan ternyata benar! Sjoert datang dengan tak lupa membawa akordeonnya.

Kembali di area piknik, saya mencoba salade kentang dan huzaren salade yang pagi tadi dibuat oleh ibu² sukarelawan, rasanya enak sekali. Sayang baguettenya sudah alot, karena sudah dibeli sejak sehari sebelumnya.

Ternyata beberapa anak Belanda dan Belarusia memutuskan untuk berenang di laut, padahal suhunya masih 12 derajat! Begitu mereka kembali, badannya gemetaran dan harus segera ganti baju agar tidak sakit untuk kemudian menyerbu makanan lagi. Di belakang, Sjoert dan salah seorang bapak bermain akordeon dengan piawainya, suasananya benar² maritim.

Memperhatikan anak² Belarusia dan Belanda ini menarik juga, dalam waktu 2 minggu mereka sudah mulai berbahasa Belanda dan Rusia patah². Beberapa diantara anak Belarusia bahkan sudah tidak tampak berbeda dengan anak Belanda. Mereka tampak gembira dan enjoy sekali. Salah satu ibu Host bercerita bahwa malam sebelumnya mereka habis menelefon orang tua salah satu anak yang tinggal bersamanya. Ibu si anak bertanya, anaknya bisa tidur apa tidak, mau makan atau tidak? Yang semua
dijawab oleh si ibu host: bisa, baik sekali. Wah, si Ibu di seberang telefon nangis karena katanya di rumah anaknya tidak bisa tidur dan susah makan! Banyak cerita² lucu dari para orang tua host. Ada yang berusaha menerangkan tentang pelepasan anjing laut di laut dengan tiga bahasa, Belanda, Inggris dan Rusia patah². Ada anak yang terlalu emosional tapi akhirnya mau juga mencoba segala rupa. Tapi pada intinya tampaknya semua senang, baik si anak, keluarga yang menerima, maupun keluarga yang ditinggal.

Karena sudah jam 3.30, kami harus pamitan dan bergegas pulang, mengejar jetfoil ke Harlingen jam 16.30. Sungguh pengalaman yang menarik. Banyak yang saya pelajari dalam dua hari ini, baik tentang Terschelling maupun tentang Belarusia. Banyak juga persamaan antara orang Terschelling, Belarus dan Indonesia ternyata!

Tuesday, May 10, 2005

Road Trip to Friesland

Waterpoort in Sneek

It was a dreary day. The sky was dark and cloudy, the wind was blowing hard, and it rained from time to time. Staying in was a more logical choice, but not for U and I, we decided to explore the countryside, Frisian countryside to be precise, about 200 km north of our city.

After crossing the 31 km long Afsluitdijk, the dam that separate the IJsselmeer from the North Sea and the Waddenzee, we reached the Province of Friesland, in the northern part of the Netherlands. Our first destination was the tiny town of Bolsward or Boalsert in Frisian language. It is famous for its Martini Church which was first built in 1446. Their splendid Renaissance City Hall was dated back to the 17th century. As we parked our car in front of the Broerekerk, Broere Church, We went to see what left of the 13th century church.

Next, come Sneek, about 10 km east of Bolsward. The 700-plus-years-old of town was known for its Waterpoort, a gate, built in 1613. There was Saturday market not far from the Gate, where you can find flowers, cheese, fruits and vegetables vendors. After strolling down the market, we lunched at 't Vaticaan, the Vatican at Grootzand.

As the name goes, 't Vaticaan's theme was religion. One can see a lot of statuettes of Maria, Jesus, and Monks (Father Pio came to mind), and not to forget: cherubs, all over the place. The cheerful waitress asked what language did U use, as he was talking on the phone with his aunt. U had a plate of beef with some fries, while I had Italian bread with smoked chicken. The portions was big and (at least mine, I didn't taste his) was quite tasty, the bread was crunchy on the outside, and soft in the inside, the salad dressing was superb. After the lunch, the sky cleared up, so we made another stroll around the town and dropped by a reformed church, the Martini kerk to take a look inside. The church was first built in the 11th century, and was renovated for the last time about ten years ago. In the inside, you can find an impressive church organ made by Schnitger from 1710.

The last place we visited was about 30 km north of Sneek. Dokkum is known as the place where St. Boniface was killed by pagans in 754 while he was reading the bible to the Christian neophytes. Just as Bolsward and Sneek, Dokkum is also on the route of Elfstedentocht, a 200 km ice skating marathon across 11 towns in Friesland that only happens when the ice on the route at least 15 cm thick. We saw the two windmills built in the 19th century on top of fortifications, and we saw a guy walking and (before that) driving in clogs!! I've seen Dutch (farmers) wearing clogs before, but not driving while wearing ones. They said clogs are comfortable to wear, and during the winter, they are warm. Seeing how fast that guy walked, I take their words for it. We then stopped by at this cafe called De Koffiepot, , where they display hundreds of coffee pot on their walls and ceiling, and had some ice creams there.

Before we knew it, it was already 6 o'clock in the afternoon, and we decided to head home. So there we were driving along those fields where cows and sheep’s were still grassing under the grey sky.


In retrospect, life in those Frisian towns seems much more relax than in the Randstad where we live. However, I don’t think I can picture myself living in the country. Sure, it is much lower in crime; there is no traffic jam, and so on. But, there’s not much you can do, there are less choices, and if you are someone who is dependent on public transport like me, the only public transport you can use was the bus and maybe train (depending on where you live).

And oh, I noticed I was practically the only Asian walking in those three towns on that day. I mean, we passed by a couple of Chinese Restaurant, an Indonesian restaurant and shop, but somehow, I saw no Asian on the street. Go figure...

Monday, May 09, 2005

Is it possible...

...to be deliriously happy and yet suicidally depressed at the same time?

Tuesday, May 03, 2005

Bakteri mengintai di Counter Make Up

Sebagai perempuan, satu hal yang mengganggu saya adalah saat membeli perangkat kecantikan, entah itu bedak, krem pelembab, apalagi gincu serta pewarna kelopak mata. Memang untuk membeli bedak maupun krem pelembab tidak terlalu sulit, bila kita telah tau yang cocok, tinggal beli lagi yang sama. Tapi tidak demikian dengan perangkat lainnya seperti gincu yang trennya berubah-ubah. Mau tidak mau harus beberapa kali mencoba warna apa yang cocok.

Nah, disini masalahnya bagi saya. Dalam pikiran saya selalu terbayang banyaknya penyakit yang menempel di tester produk yang dipajang di counter kosmetik. Bagaimana tidak, siapa saja bisa mencoba menggunakan tester tersebut tanpa saya tau latar belakangnya. Apa mereka mencuci tangannya setelah ke belakang? Apa mereka sedang flu, sakit mata, diare atau kena cold sore alias varian dari herpes?

Ternyata, kecemasan saya ini beralasan, dan terbukti kebenarannya. Menurut penelitian selama 2 tahun yang dilakukan oleh Profesor Elizabeth Brooks, DPM dari Rowan University, tester dan make-up counter di Amerika terkontaminasi dengan segala rupa bakteri, mulai dari Staph yang banyak ditemukan di pegangan pintu, sampai E. Coli yang merupakan bakteri yang dapat ditemui di tinja!

Memang, hubungan sebab akibat antara kunjungan ke counter make-up dan terkena penyakit belum terbukti. Tapi kemungkinan itu ada. Misalnya, bila orang sebelum anda sedang sakit mata, kemudian ia mencoba tester mascara, maka anda dapat terkena penyakit yang sama. Bayangkan kalau orang sebelum anda terkena hepatitis misalnya, ngerikan?!

Yang menarik, ternyata menurut penelitian Brooks ini, penjual tidak dapat sepenuhnya disalahkan. Mereka telah melakukan tindakan desinfeksi di counter²nya, misalnya dengan mencelup gincu di alkohol, meraut pensil, menghilangkan lapisan atas dari krem. Masalahnya justru di konsumen sendiri yang sering memiliki kesadaran higienis yang kurang.

Dapat dibayangkan, semakin ramai suatu counter, semakin terkontaminasilah produknya. Dari penelitian ini diperoleh data pada akhir minggu hampir 100% tester terkontaminasi, sementara di hari Kamis hanya 43% saja yang terkontaminasi. Untungnya bakteri itu tidak dapat berkembang biak di make-up!

Berbekal dengan pengetahuan ini, bila anda masih ingin mencoba suatu produk, lakukanlah pagi² di hari kerja. Selain itu mungkin praktek mencoba warna produk di punggung tangan dapat mengurangi risiko terkena penyakit. Hanya saja, warnanya belum tentu sama seperti bibir dan wajah kita.

Dapat juga dicoba ke counter yang menjaga kehigienisannya, misalnya dengan menggunakan aplikator sekali pakai. Atau hanya mencoba produk botol yang harus di pompa, atau di tube.

Pilihan terakhir, tidak mencoba tester sama sekali. Tapi susah juga ya?