Thursday, June 15, 2006

Nyontek

Siapa yang tidak pernah nyontek? Salut saya kalau anda tidak pernah nyontek!

Jujur saja, saya pernah. Tidak sering, biasanya pas ulangan harian dan hanya satu dua pertanyaan dan caranya pun masih low tech. Apa karena jarang, sedikit jadi tidak masalah? Tidak juga. Malu sih iya, koq ngga mau usaha sendiri dan kalaupun usahanya kurang tidak cukup lapang dada menerima kekurangan. Karir contek-menyontek saya hanya sampai SMA, setelah itu tobat. Lagian lama² saya pikir kalau lulus karena hasil contekan, saya tidak yakin sendiri akan kualitas saya. Di kuliah paling banter saya melihat di sekitar (di sini jarak tiap meja hampir 1 meter ke meja yg lain) apa kira² yang lain sama bermasalahnya dengan saya atau tidak, alias banyak kosongnya dalam ujian esai, atau distribusi pilihannya kurang lebih sama pada ujian pilihan ganda. Kalau sepertinya sama bermasalahnya, jadi tenang... bisa buang bodi, soalnya susah. :)

Pernah ketahuan? Ngga. Walaupun pernah ada insiden, teman yg sudah saya kasih contekan beberapa soal dan sempat saya contek 1 soal tapi ternyata nilai dia lebih rendah dari saya, lapor ke bu guru. Kocaknya pas si ibu tau dia juga nyontek ketawa aja, dan komentar, "Makanya jangan ngasih contekan." Kejadian itu contoh, nyontek itu ada seninya. Biar dikasih jawaban benar, kalau salah contek jadinya ya tetap aja kita salah. Kalau diberi jawaban salah, tapi kita tidak main jiplak, siapa tau malah jadi jawaban kita benar.

Tapi rupanya jaman makin maju, orang makin 'kreatif' menggunakan tehnologi untuk menyontek. Sekarang kita bisa membeli karya tulis atau cut and paste paragraf dari Internet. Bila diberi tugas membuat program pun bisa kita outsourcing ke programer di India atau di Rumania misalnya. Ujian pun sekarang banyak yang menyontek menggunakan telepon genggam. Pertama kali saya mendengarnya dari teman saya yang sedang mengambil spesialisasi kedokteran di Universitas terkenal di tanah air bingung. Koq boleh sih membawa telepon genggam ke ruang ujian? Di sini, semua telepon genggam harus dimatikan dan masih juga dipasang alat untuk menghalangi signalnya. Lebih bingung lagi bagi saya yang gagap ber-sms, membayangkan harus menulis jawaban satu² via sms.

Kalau dipikir konsekuensi menyontek itu ngeri juga, kasarnya bila insinyur sipil salah hitung, jembatan bisa ambruk; arsitek salah hitung, bangunan ambruk; dokter salah diagnosa, pasien bisa mati. Apalagi dilakukan di negeri yang nilai batas lulusnya amat rendah seperti di Indonesia. Kalau tidak salah batas lulus ujian SMU tahun ini hanya 4,25, yang artinya mungkin cukup menjawab benar tak sampai 40% dari seluruh soal untuk lulus karena adanya konversi nilai. Apakah nilai/angka sedemikian pentingnya dibanding kualitas sehingga menyontek merupakan jalan keluar? Apa masalahnya terletak di manusia Indonesia yang cenderung bodoh dan malas berusaha, atau sistem pendidikannya yang kurang baik, atau dua-duanya sehingga orang menyontek? Apa konsekuensinya bagi kualitas sumber daya manusia kita?

1 comment:

topan said...

gw dengan nyantai buka buku dilaci, e..gw gak tau,ternyata dibelakang gw ada guru....tengsin banget.