Bertahun yang lalu, saya membuat mailing list untuk pemerhati dan orang tua dari anak berbakat (gifted atau hoogbegaafd). Salah satu yang paling saya tidak bisa suka adalah bila orang main meneruskan email yang tidak jelas, apalagi bila email tersebut sudah sering berkeliaran di dunia maya. Seringkali alasannya karena mereka tidak bisa browsing sehingga tidak bisa mengecek kebenarannya. Tapi kadang alasan itu tidak bisa saya terima karena email yang sama sudah muncul beberapa minggu sebelumnya dan sudah dibahas.
Tiap mailing list mempunyai aturannya sendiri². Satu hal yang akan membuat anggota mailing list anakberbakat automatis kehilangan keanggotaannya adalah bila mereka mengirim email anti thimerosal karya Ines yang sudah wira wiri sejak Desember 2003 di dunia permilisan Indonesia. Cuplikan email itu sebagai berikut:
From: Ines Indrati Muljawan [mailto:inesim@...]
Sent: Wednesday, December 03, 2003 11:23 AM
To: aksek_tarakanita@yahoogroups.com
Subject: [milis tarki] Hati-hati Thimerosal dalam Vaksin
Setelah kesibukan Lebaran yang menyita waktu, baru sekarang saya bisa
dapat waktu luang membaca buku "Children with Starving Brains"
karangan Jaquelyn McCandless,MD yang diterjemahkan dan diterbitkan
oleh Grasindo. Ternyata buku yang saya beli di toko buku Gramedia
seharga Rp. 50,000,- itu benar-benar membuka mata saya, dan sayang,
sayang sekali baru terbit setelah anak saya Joey (27 bln) didiagnosa
mengidap Autisme Spectrum Disorder.
Karena kalimat awalnya berhubungan dengan Lebaran, maka selama bertahun-tahun setiap habis Lebaran mulailah email itu berkeliaran, harus dibahas lagi karena orang tua panik. BOSAN. Lebih baik membahas yang lain daripada mengulang² seperti piringan hitam rusak. Belum lagi konsekuensi dari kepanikan itu, banyak orang tua menolak anaknya divaksinasi. Akibatnya sekarang semakin banyak terjadi anak terkena penyakit menular seperti campak. Katanya mendingan kena campak daripada kena autis. Padahal campak bisa menyebabkan kematian.
Rupanya sejak sering dikomentari bahwa itu email lama dan bukan musim lebaran lagi, email diatas diupgrade pada bagian awalnya tapi sisanya sama persis walau nama Ines dihapus. Subyek email tersebut makin bombastis, dari Hati-hati Thimerosal dalam Vaksin menjadi Vaksin penyebab Autis. Contohnya sebagai berikut:
Subject: [Isi sendiri nama milisnya] Fw: Vaksin Penyebab Autis
Vaksin penyebab Autis
Buat para Pasangan MUDA. om dan tante yg punya keponakan... atau bahkan
calon ibu ... perlu nih dibaca ttg autisme.. Bisa di share kepada yang
masih punya anak kecil supaya ber-hati2........ Setelah kesibukan yang
menyita waktu, baru sekarang saya bisa dapat waktu luang membaca buku
"Children with Starving Brains" karangan Jaquelyn McCandless,MD yang
diterjemahkan dan diterbitkan oleh Grasindo.
Ternyata buku yang saya beli di toko buku Gramedia seharga Rp. 50,000,-
itu benar-benar membuka mata saya, dan sayang, sayang sekali baru terbit
setelah anak saya Joey (27 bln) didiagnosa mengidap Autisme Spectrum
Disorder.
Saya bisa mengerti mengapa Ines menulis email tersebut, menurutnya Joey terkena autis karena vaksin berthimerosal. Efek
thimerosal yang digunakan sebagai pengawet vaksin serta ada di tinta untuk tattoo masih belum banyak dipelajari. Hanya saja sampai sekarang masih belum diketahui penyebab autisme itu persisnya apa karena banyak faktor yang saling terkait. Tapi para ahli sepakat sebab utamanya genetis. Tentunya hal ini tidak ingin didengar oleh orang tua, karena kesannya mereka itu penyebab penderitaan anaknya. Jadi dicarilah kambing hitam: Vaksin. Yang harus diingat, dalam MMR, yang sering disalahkan sebagai penyebab autisme, tidak pernah digunakan thimerosal sebagai pengawet.
Untuk menyebut penyebab autisme adalah vaksin yang membuat orang panik menurut saya kelewatan. Bahkan cukup
banyak study yang tidak bisa menunjukkan koneksi antara vaksin (terutama MMR) dengan autisme, salah satunya
study di Canada yang baru dilansir awal Juli ini. Yang menarik,
study di Yokohama, Jepang dan Denmark menunjukkan jumlah penderita Autisme meningkat biarpun vaksin disana sudah tidak menggunakan thimerosal dan tidak diberikan MMR.
Salah satu akibat dari kepanikan massa di Indonesia, sekarang banyak dokter yang tidak mau memberikan vaksin MMR tepat waktu ke anak yang telat bicara. Alasannya takut nantinya si anak autis , jadi ditunda sampai anak bisa bicara. Selain takut dibawa kepengadilan bila ternyata si anak betulan autis, padahal sebenarnya menurut Volmer mereka yang autis sudah tampak gejalanya sejak bayi jauh sebelum diberikan MMR. Sebetulnya praktek ini tidak sesuai dengan petunjuk satgas imunisasi Indonesia. Ironisnya petunjuk ini bahkan tidak diikuti oleh beberapa dedengkotnya sendiri. Dengan berkurangnya jumlah anak yang divaksinasi, maka kekebalan kelompok (herd immunity) pun turun yang artinya resiko anak tertular penyakit menular seperti polio, campak, semakin tinggi.
Sebetulnya gerakan anti vaksin ini tidak hanya di Indonesia, tapi di mana², terutama di Amerika. Hanya saja bedanya, di negara maju pelayanan dan fasilitas kesehatannya jauh lebih baik daripada di Indonesia. Begitu ada satu kasus meningitis misalnya, semua anak langsung di vaksin seperti yang terjadi di Inggris dan Belanda misalnya. Ingat apa yang terjadi di Indonesia beberapa saat lalu dengan wabah polio? Butuh waktu lama bagi pemerintah untuk melakukan imunisasi massal, itupun tidak semua anak tervaksinasi. Akibatnya penyakit seperti polio sulit diberantas.
Jadi tolong, kalau melihat email seperti di atas, jangan diteruskan karena cenderung menyesatkan. Gunakan cara lain untuk membuat pemerintah menyediakan vaksin gratis tanpa thimerosal, misalnya dengan menulis ke mediamassa, atau ke perwakilan anda di parlemen atau ke mentri Kesehatan. Sementara itu, bila takut menggunakan vaksin gratis dari pemerintah, belilah sendiri vaksin tanpa thimerosal. Banyak jalan menuju Roma, tanpa harus menciptakan panik massal.