Sunday, February 05, 2006

IFFR 2006

La leyenda del Tiempo (The Legend of Time)
Film yang disutradarai oleh Isaki Lacuesta ini sedang world premiere di IFFR. Ceritanya tentang Isra anak Gypsi berusia 13 tahun yang baru saja kehilangan ayahnya serta Makiko perawat Jepang yang melanglang buana ke pulau San Fernando, di lepas pantai Cadiz, Spanyol. Yang menyatukan kedua anak manusia ini adalah Camarón de la Isla, penyanyi Flamenco terbaik yang telah tiada sekitar 12 tahun lalu karena kanker yang dideritanya dan seorang pelaut Jepang yang menjadi juru masak di restoran Cina. Bagian awal film menceritakan tentang suara Isra, yang indah tapi sesuai dengan tradisi duka Gypsi tidak boleh bernyanyi. Diceritakan bagaimana hidup Isra selama setahun setelah ayahnya tiada, saat ia mulai jatuh cinta pada teman kakaknya. Selain itu masalah yang ia hadapi dengan kakaknya yang julingnya ngga konsisten. Kadang yg kiri yang juling, kadang yang kanan, koq bisa ya? :) Mungkin bila ia bisa menumpahkan perasaannya dengan bernyanyi seperti Camarón, ia tidak perlu bereksperimen dengan ganja seperti dilukiskan dibagian akhir cerita. Berikutnya giliran kisah Makiko yang tidak punya talen bernyanyi tapi ingin bisa bernyanyi seperti Camarón. Ia meninggalkan ayahnya yang sakit dan pekerjaannya sebagai perawat di Jepang. Di San Fernando ia bekerja di restoran Cina sambil belajar ritme Flamenco dari adik Camarón sampai beberapa saat setelah ayahnya meninggal. Film sepanjang 109 menit ini menurut saya biasa saja, bagian tentang Ista bahkan cenderung bertele-tele untungnya soundtracknya bagus. Satu hal yg bikin geregetan, giginya Makiko perlu dikawatin! Heran, kenapa Jepang² kaya, bisa beli tas Louis Vitton tapi ngga investasi betulin gigi sih? Merusak penampilan banget kalo buka mulut.

Solntse (The Sun)
Ini merupakan film terakhir dari trilogi mengenai pemimpin dunia karya Aleksandr Sokurov yang juga beken lewat Russian Ark. Bagian pertama dari Trilogi ini, Moloch, berkisah tentang Hitler; sementara film keduanya, Telet (Taurus)menceritakan hari² terakhir Lenin; Solntse sendiri mengetengahkan Kaisar Hirohito menjelang ia 'turun' pamor dari dewa menjadi manusia biasa. Sepanjang film Ogata Issey yang memerankan Hirohito selalu melakukan gerakan mulut seperti mulut ikan saat ia tidak bicara, yang sepanjang ingatan saya tidak pernah saya lihat di film dokumentasi tentang sang Kaisar. Mungkin maksudnya membuat karikatur Hirohito tapi jadinya malah membuat saya jengkel melihatnya. Sama halnya dengan lemahnya akting Robert Dawson yang memerankan mcArthur dan orang² Rusia yang menjadi GI Amerika.

Gie
Film Indonesia karya Riri Riza yang katanya jadi wakil Indonesia ke Oscar. Satu²nya yang saya suka hanya quote dibagian akhir tentang 'berbahagialah mereka yang mati muda'. Terus terang sebelumnya selain Gie adalah adik dari Arief Budiman, saya tidak tau apa² tentang dia. Film ini menurut saya kepanjangan dan monoton. Skenarionya lemah, mungkin kalau ditulis oleh orang lain hasilnya bisa lebih ada grengnya. Detailnya juga sering mengganggu, misalnya profil muka Han kecil dan besar yang tanpa operasi Orthognathic ngga mungkin sejauh itu, sampai membuat saya harus berpikir saat pertama kali melihat Han dewasa: siapakah dia? Guru/Romo di Canisius yang berbaju putih, seingat saya pastoor Jesuit bajunya hitam. Bagaimana di Salemba bisa jauh lebih banyak anak Sastra yg saat itu kuliahnya di Rawamangun juga buat saya janggal. Saya bisa menerima kalau lebih banyak anak tehnik, anak Ekonomi di Salemba, tapi tidak anak sastra. Kostum yang dipakai juga seringkali terlalu modern, begitu juga pemakaian bahasanya. Sepanjang yang saya tau 'gue dan lu' itu baru banyak dipakai setelah tahun 80-an, apa saya salah?
Di sisi lain, film ini membawa nostalgia juga sih, jaman masih suka keluyuran ke FSUI Rawamangun tahun 80-an, di Salemba tahun 90-an. Sayangnya CC sejak 90-an akhir gedungnya berubah sih, padahal sebelum itu masih lebih sesuai dengan foto2 CC tahun 60-an.

Mòj Nikifor (My Nikifor)
Film sepanjang 100 menit karya Krzysztof Krauze ini mengisahkan tentang persahabatan antara Marian Wlosinski dan Nikifor, yang bernama asli Epifaniusz Drowniak, sekitar tahun 60-an. Nikifor merupakan seorang pelukis naif (naive painting)yang terkenal di Amerika tapi selama hidupnya ia kesulitan menjual hasil karyanya, sehingga ia harus meminta-minta. Di film ini, ia diperankan oleh Krystyna Feldman, seorang nenek (!) yang berusia 85tahun tapi masih aktif berakting di teater dan beberapa kali memperoleh penghargaan memerankan peran pria dalam kategori pria! Skenarionya kuat, cinematografinya pun indah. Jadi tidak heran film ini telah memenangkan banyak penghargaan.

Menurut kabar, bulan Juni nanti akan ada IFFR lagi tapi dalam skala kecil.

3 comments:

Hedi said...

Saya sih belum liat film "Gie", tapi mungkin karena ada gaya sosialis (komunis) di ideologinya, jadi saya enggan nonton.

triesti said...

well, I think you need to brush up on your definition of socialism & communism. Just remember this: all communists are socialists, but NOT all socialists are communists.

In fact lots of European countries, and I mean the 'western' not the 'eastern', use socialist systems for the welfare of their inhabitants. Sure the tax is high (at least 30% of the income, VAT is 19% in Holland), but at least you get a lot from it (health care, transportation, education to name some).

illuminationis said...

berdasarkan pengetahuan saya yang cuma alakadarnya: sosialis ga sama dengan komunis, walaupun keduanya masuk kategori ideologi sosial-politik. Komunis ga sama dengan atheis (yang teriak komunis = atheis, goblok'e...), yang satu ideologi negara yang lain kepercayaan pribadi.

Orang theis bisa komunis atau sosialis.
Orang atheis juga bisa komunis atau sosialis.
Orang komunis atau sosialis bisa theis, atheis, gnostik, atau agnostik.

Agnostik ga sama dengan atheis.
Gnostik ga sama dengan theis.
Theis belum tentu gnostik.
Agnostik belum tentu atheis.

Tambah pusing? Salah sendiri baca komentar alakadarnya saya...