Berhubung ditanya sepupu tentang stereotipikal Belanda saya jadi ingat pembicaraan dengan U beberapa bulan lalu tentang stereotipikal suatu negara. U cerita bagaimana orang Belarusia memandang bangsa lain disekitarnya. Ketika dia bertanya tentang pandangan orang Indonesia tentang negara sekitarnya saya jadi diam. Sepanjang ingatan saya, kita koq ngga punya stereotipik tentang negara tetangga ya? Seperti Loucee tulis di sitenya, paling banter kita punya stereotipik tentang orang India atau Cina. Kalau stereotipik antar suku di Indonesia sih jelas ada. Walau kadang saya mikir lagi, itu stereotipik (negatif) atau pemikiran rasial ya?
Apa kita tidak mempunyai stereotipik tentang negara tetangga karena pada dasarnya bangsa kita jarang keluyuran/berhubungan dengan negara tetangga? Abis Indonesia besar sih, kalau tinggal di Jawa mau ke Malaysia kan jauh, lebih gampang ke Bali atau Madura. Beda dengan negara² Eropa yang dekat satu dengan yang lain, apalagi bila tinggal di Benelux yang kalau meleng sedikit bisa sudah sampai ke negara tetangga.
Kembali ke pertanyaan sang sepupu. Kalau dibilang Belanda pelit, di mata orang Eropa setau saya orang Skotlandia atau orang Yahudi lebih pelit. Tapi memang orang Belanda itu itungan sekali. Sampai satu sen pun bisa dituntut. Dalam bahasa Belanda dikenal: elk dubbeltje tweemaal omkeren (terjemahan letterlijknya: setiap 10 cent diputar dua kali) yang artinya amat hemat. Jujur saja, kadang ada enaknya sih, semua jelas kalau pergi dengan teman. Makan bareng, ya kita bayar sendiri² apa yang kita pesan. Jadi kalau dia pesan lebih mahal ya urusan dia, rekening tidak dibagi separuh-separuh. Menurut cerita kebiasaan hemat dan cermat ini karena mereka biasa hidup susah, tidak seperti di Indonesia di mana bila kita melempar biji duren di halaman juga bisa tumbuh jadi pohon duren.
Orang Belanda cenderung tidak kenal basa-basi. Kadang saya jauh lebih suka berbicara dengan orang Belanda daripada dengan orang Jawa yang penuh basa-basi. Paling tidak saya tidak perlu susah² mengira-ngira maunya mereka apa. Mereka juga cenderung bicara seadanya, yang kalau tidak biasa mendengarnya bisa sakit juga sih. Ingat saja bagaimana mentri Belanda Pronk memberikan komentar tentang korupsi di Indonesia yang membuat pemerintah Indonesia marah.
Mungkin tidak jauh dari urusan komunikasi, (pria) Belanda tidak bisa flirting. Cerita panjang lebarnya bisa dibaca sendiri di tulisan saya sebelum ini.
Yang menarik bagi saya adalah selera Belanda. Di satu sisi Belanda terkenal dengan para pelukisnya, siapa sih yang tidak kenal Van Gogh, Rembrandt, Vermeer serta de Kooning. Arsitek Rem Koolhaas juga ngetop dengan designnya. Saat ini pun design Belanda termasuk sedang ngetop di dunia. Tapi kalau melihat cara orang Belanda berpakaian tuh sering kali ampun deh. Jeans warna oranye, atau merah dipakai kaum adam termasuk hal yang normal di negara ini. Kebiasaan wanita Belanda memakai baju bertumpuk² dengan warna atau corak yang tabrakan juga amat normal. Rambut yang berantakan boleh dibilang bagian dari 'Belanda'. Jangan kira hal itu hanya dilakukan selama kegiatan sehari-hari. Pergi ke perkawinan, ke opera, maupun acar resmi pun sering kali kostumnya tidak beda jauh. Enaknya, kita tidak dituntut selalu bergaya walau akhirnya bisa merusak 'selera' kita sendiri kalau keseringan ikut 'gaya' mereka.
Sebelum sampai di Belanda, saya diwanti² bahwa orang Belanda itu amat pembersih. Beda sekali dengan saya yang selebor. Ternyata, sesampainya di sini dan bergaul dengan Belanda yang masih seumuran, mereka juga tidak bersih² amat, malah banyak yang jorok! Menurut observasi saya, biasanya ketika masih sekolah, mereka itu (lumayan) jorok, dan tidak rapi. Ok, ini generalisasi, tapi biasanya memang demikian, apalagi mereka² yang ikut dalam organisasi mahasiswa yg disini disebut vereniging. Nantinya, bila mereka sudah bekerja atau berumah tangga (baik kawin maupun hidup bersama) mereka mulai peningkatan, lebih rapih dan bersih. Setelah mereka tua, mereka jadi amat pembersih dan rapih.
Belanda juga terkenal toleran, paling tidak mereka sendiri merasa sebagai bangsa yang toleran. Tapi menurut saya toleransinya setengah hati. Selama kita tidak mengganggu mereka, maka mereka seakan-akan mentolerir kita. Ini amat terasa akhir² ini terutama sejak pembunuhan terhadap Theo van Gogh. Sebagai bangsa yang berani tampil beda dengan melegalisasi banyak hal yang boleh dibilang masih tabu di negara lain (narkoba, prostitusi, hubungan homoseksualitas, eutanasia, serta aborsi), memang tampaknya mereka toleran dan liberal. Tapi kalau dilihat lagi, keputusan mereka itu selalu ada keuntungannya. Ambil contoh legalisasi prostitusi. Sebelum dilegalkan, adanya prostitusi di'maklumi' jadi tidak legal, tapi juga tidak 100% illegal. Ternyata dengan posisi seperti itu banyak masalah timbul, terutama masalah perdagangan wanita dan pendatang ilegal. Jadi dengan dilegalkan dan terlokalisasi masalah itu berkurang, selain ada keuntungan pajak pemasukan (income tax) serta penyebaran penyakit kelamin menular dapat terkontrol.
Itu semua stereotipik Belanda dimata saya. Mungkin orang lain melihat Belanda berbeda karena latar belakangnya dan pengalamannya dengan orang Belanda berbeda dengan saya. Seperti orang Inggris melihat Belanda sebagai bangsa yang tidak punya emosi, pelit, dan mudah naik darah. Bisa jadi ini berawal dari masa perseteruan mereka mencari jajahan di abad ke 17. Efeknya masih bisa kita lihat sampai saat ini di istilah bahasa Inggris yang menggunakan kata 'dutch' seperti dutch courage, dutch metal, dutch uncle, going dutch, semuanya artinya cenderung negatif.
Untuk masukan lain tentang stereotipik Belanda mungkin bisa dilihat di koran NRC, maupun di site expatica dan zompist.