Pendidikan Kesehatan Reproduksi
Waktu SMP-SMA (yes, I am that old) di sekolahku ada pendidikan Kesehatan Reproduksi yang dibawakan oleh orang² dari keuskupan. Kirain pendidikan kayak gitu di mana² ada, taunya ngga semua sekolah memberikan. Namanya juga dari keuskupan, pesan sponsornya jelas ada tapi masih mending daripada tidak sama sekali.
Ketika sekolah bahasa, ada orang yg nyeletuk, 'jenis kelamin anak ditentukan oleh posisi'. Ya ampun, kalau orang yg katanya pinter bisa mikir kayak gini, gimana yg lain? Padahal dia itu pas SMA jurusannya ilmu eksakta lho, yang pastinya dapet pelajaran kalau perempuan itu ada kromosom XX sementara pria kromosom XY. Memang sih praktis di mana² tuh yang ada hubungannya dengan seks itu tabo. Kalau aku nanya ke temen² biasanya mereka tau ya karena nanya ke temennya (yg belum tentu ilmunya bener), soalnya dari orang tuanya ngga dapet. Makanya aku setuju banget kalau pendidikan kesehatan reproduksi wajib di berikan di sekolah supaya informasi yang diterima tuh yang benar.
Sebetulnya pendidikan kesehatan reproduksi tuh amat penting, ngga hanya membantu anak yang sedang akil balik dengan segala pertanyaannya, juga mereka yang akan menikah. Sayangnya, di negara beragama kayak Indonesia, orang cenderung konservatif. Sering pemuka agama, juga mereka yang mengaku moralis tidak setuju pendidikan kesehatan reproduksi diberikan. Alasannya pendidikan seperti itu membuat anak melakukan seks. Herannya, tiap hari anak dicekoki tayangan baik dari dalam maupun luar seperti (dulu) Melrose Place, the OC, segala rupa soapopera. Buat aku, ini koq informasi yang diterima berat sebelah.
Kalau kita lihat di Belanda dan Amerika, pendekatan kedua negara ini berbeda sekali, yang satu liberal satunya lagi konservatif. Sepanjang yang saya tau, sejak usia sekitar 9 tahun ada pendidikan kesehatan reproduksi di sekolah Belanda. Bahkan ada yg bilang di beberapa sekolah anak² itu sudah diajarin gimana caranya pakai kondom! Hal ini menurut aku sih rada terlalu juga. Yang jelas, mereka diajari pentingnya alat kontrasepsi, safer sex or no sex. Hasilnya jumlah remaja hamil diluar nikah rendah, aborsi rendah, penyebaran penyakit kelamin (termasuk HIV/AIDS) juga cukup rendah. Memang sih akhir² ini jumlah aborsi kabarnya meningkat, tapi ternyata ini andil dari kaum pendatang. Dan ternyata usia pertama kali melakukan seks tidak lebih muda daripada lawannya di Amerika, begitu juga jumlah partnernya tidak berarti lebih banyak.
Di Amerika yang lebih 'beragama', pendidikan kesehatan reproduksi akhir² ini terbatas hanya pada no sex, alias abstinance. Menurut mereka itu yang terbaik. Memang sih tidak melakukan aktifitas seksual itu tidak membawa resiko apa². Masalahnya, tidak semua orang bertahan abstinance, dan bila mereka berhubungan seksual hal itu tidak dilakukan dengan aman. Akibatnya, penyebaran penyakit kelamin jauh lebih tinggi dari di Belanda, contohnya penyebaran Gonorrhea 74 kali lebih tinggi di kalangan remaja Amerika. Tingkat kehamilan remaja luar nikah bahkan lebih dari sembilan kali tingkat kehamilan remaja di Belanda. Hal yang sama juga tampak dari data tingkat aborsi di Amerika yang tujuh kali lebih tinggi daripada di Belanda.
Menurutku, situasi di Indonesia lebih mirip dengan di Amerika, anak sebisa mungkin tidak tau apa². Tapi kalau mendengar bahwa menurut survey di Indonesia tiap tahun terjadi aborsi sebanyak 2 juta kali, biarpun hanya 20%-nya dilakukan oleh remaja, rasanya pendidikan kesehatan reproduksi patut diberikan. Apalagi dengan UU Kesehatan yang menyatakan aborsi itu ilegal, bila terjadi kehamilan diluar nikah, orang akan pergi ke tempat aborsi ilegal yang pelayanan medisnya tidak terjamin. Daripada daripada, kan mendingan mendingan...
No comments:
Post a Comment